Jaya Pub, bebas ABG belajar mabuk dan musik pop kacangan.

Bar tua dengan crowd lawas pula. Itulah yang terlintas di pikiran saat memasuki pintu reot menuju ruangan bercahaya temaram yang terletak di belakang Gedung Jaya. Stiker dan poster yang menempel di pilar kayu dan tembok semakin menambah kesan reyot dan nuansa vintage Jaya Pub, bar yang mulai beroperasi entah sejak berapa tahun yang lalu. Meja billiard dan panggung dengan tinggi sejajar para penonton juga turut melengkapi nuansa jadul, sampai-sampai para pelayan berpakaian kuno dengan kemeja putih beserta celana hitam ditambah dasi kupu-kupu menghiasi kerah mereka.

Mengiringi kami menuju meja, A Whiter Shade Of Pale dikumandangkan homeband yang tampaknya handal memainkan lagu-lagu era 70 sampai 90-an. Terlihat di dekat panggung beberapa ekspatriat menikmati malam itu dan berbaur dengan pengunjung lain sembari bernyanyi bersama.

Suasana yang langka ditemui di bar Jakarta pada umumnya. Tanpa ABG belajar mabuk, tanpa gangster jadi-jadian, tanpa orang-orang yang ingin 'dianggap'. Semua datang hanya untuk menikmati minuman, berkumpul dan bernyanyi bersama mengenang kenangan yang hadir dari tiap lagu lawas yang dimainkan.

Keadaan ini seolah menyihir kami sampai tidak keberatan merogoh kocek Rp 250.000,- (belum termasuk pajak) untuk satu pitcher beer.